Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah sedang mematangkan family office untuk menarik dana milik konglomerat dari luar negeri. Supaya program itu berhasil, pemerintah menjanjikan fasilitas bebas pajak bagi para crazy rich yang mau menyimpan atau membawa hartanya ke Indonesia.
Adapun gagasan tentang family office getol disuarakan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Luhut bahkan mengklaim bahwa konsep ini akan berimplikasi positif terhadap ekonomi Indonesia. Pasalnya family office akan meningkatkan peredaran modal yang ujung-ujungnya mengerek produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Rencananya Bali akan menjadi proyek utama family office. Nantinya, jika program ini benar-benar terealisasi, Luhut berangan-angan para keluarga konglomerat yang memiliki kantor keluarga di Bali akan memperoleh fasilitas pembebasan pajak.
"Mereka tidak dikenakan pajak, mereka harus investasi dan investasinya itu yang kita pajaki," klaim Luhut dalam penjelasan resminya yang dikutip, Senin (8/7/2024).
Dalam catatan Bisnis, pemerintah sejatinya telah beberapa kali menerbitkan kebijakan untuk menarik dana konglomerat dari luar negeri. Hanya saja gagasan untuk menarik dana milik konglomerat global artinya tidak sebatas milik warga negara Indonesia alias WNI, baru kali ini diungkapkan secara serius.
Baca Juga
Beberapa program sebelumnya, misalnya tax amnesty, pelaksanaan automatic exchange of information (AEOI), hingga program tax amnesty jilid 2 beberapa waktu lalu, mayoritas menyasar harta milik konglomerat dari Indonesia.
Semua program tersebut tidak jelas tolok ukurnya bahkan implikasinya ke perubahan struktur penerimaan pajak maupun rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) tidak kunjung kentara hingga saat ini.
Tax Amnesty Jilid I
Tax amnesty merupakan satu di antara sekian banyak terobosan kebijakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di bidang perpapajakan. Implementasi kebijakan tersebut merupakan rekonsiliasi antara wajib pajak dengan pemerintah.
Dengan kata lain, pemerintah bisa mendapatkan dana dalam sekejap untuk melanjutkan pembangunan. Sementara bagi WP, tax amnesty bisa menjadi peluang untuk memperbaki kepatuhan tanpa harus takut dikejar-kejar sanksi yang tinggi.
Selama sembilan bulan pelaksanaan kebijakan, pemerintah telah mengantongi data deklarasi harta senilai Rp4.884,2 triliun yang Rp1.036,7 triliun di antaranya berasal luar negeri. Selain itu, otoritas pajak juga mencatat adanya repatriasi aset senilai Rp146,7 triliun dan uang tebusan dari wajib pajak senilai Rp114,5 triliun.
Kendati demikian, pengampunan pajak tak hanya menyisakan cerita manis. Bisnis mencatat, dibalik limpahan data ribuan triliun tersebut ada beberapa hal yang patut menjadi catatan.
Dari sisi tingkat partisipasi misalnya, jumlah wajib pajak yang ikut pengampunan pajak kurang dai 1 juta atau tepatnya hanya 973.426. Jumlah tersebut hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017 yakni pada angka 39,1 juta.
Sementara itu untuk uang tebusan, dengan realisasi Rp114,5 triliun jumlah tersebut masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun. Realisasi repatriasi juga sama, dari janji yang dalam pembahasan di DPR sebesar Rp1.000 triliun, otoritas pajak ternyata hanya bisa merealisasikan sebesar Rp146,7 triliun.
Tak heran sebenarnya jika hampir 6 tahun pascapelaksanaan tax amnesty, tingkat kepatuhan WP juga masih jauh panggang dari api. Tak banyak berubah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Apalagi data kepatuhan pajak menunjukkan rasio kepatuhan WP masih pada angka 83%. Angka itu masih di bawah standar yang ditetapkan OECD yakni pada angka 85%.
Pertukaran Informasi
Setelah tax amnesty, pemerintah sejatinya telah memiliki instrumen untuk menyelisik harta konglomerat atau warga negara Indonesia yang berada di luar negeri dengan AEOI. Sayangnya, impliasi AEOI ke penerimaan pajak belum tampak hingga saat ini.
Padahal, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim sudah mengantongi banyak data keuangan sejak 2018 melalui Automatic Exchange of Information (AEoI). Sri Mulyani beberapa waktu yang lampau pernah mengakui telah menerima lebih dari 1,6 juta informasi financial account dari berbagai negara dengan nominal mencapai 246,6 miliar euro.
Harusnya dengan nilai informasi keuangan yang sefantastis itu, otoritas pajak bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah tanpa harus susah-susah mengumpulkan informasi pajak dari awal. Selain itu cerita shortfall yang menjadi pekerjaan rumah, siapapun menteri atau dirjen pajaknya, perlahan atau pasti bisa segera ditangani.
Tetapi apa lacur, impian terkadang jauh lebih indah dari fakta di lapangan. Pasalnya, berdasarkan informasi yang dihimpun Bisnis, data-data keuangan tersebut tak serta merta langsung bisa dikonversikan ke penerimaan pajak. Mereka kesulitan. Otoritas pajak terkesan menutup-nutupi berapa data yang telah diperoleh dan berapa duit yang berhasil diterima dari proses pertukaran informasi perpajakan tersebut.
Padahal tanpa ditutupi, publik sudah mafhum, ada atau tidaknya pandemi, ada atau tidaknya AEoI dan tetek bengeknya, penerimaan pajak tetap saja jauh dari ekspekstasi. Malah yang terjadi justru ada kecenderungan penurunan kinerja penerimaan pajak. Hal itu tampak dari angka semua indikator penerimaan pajak yang jeblok.
Paling gampang, tinggal melihat kinerja perbandingan penerimaan pajak dengan produk domestik bruto atau PDB (rasio pajak). Tak usah membagi rasio pajak berdasarkan defisnisi dalam arti sempit atau dalam arti luas. Mau pakai definisi apapun, kinerja rasio pajak Indonesia tertinggal dari negara manapun. Kalau merujuk data OECD, rasio pajak Indonesia bahkan terendah se-Asia Pasifik.
Sebagai perbandingan, tahun 2015 rasio pajak Indonesia pernah mencapai 11,6 persen (dibulatkan biar kelihatan besar), angka itu turun pada level 10,84 persen, kemudian 10,64 persen (2017). Pada tahun 2018, rasio pajak Indonesia agak sedikit naik menjadi 11,4 persen.
Akan tetapi perlu diingat, kenaikan rasio pajak pada tahun itu bukan karena usaha extra alias extra effort Ditjen Pajak, namun lebih disebabkan oleh terkereknya harga komoditas, terutama minyak yang waktu itu tembus di atas US$70 per barel. Rejeki nomplok.
Angka rasio pajak kembali anjlok di kisaran 10,69 persen pada tahun 2019 seiring dengan kembali turunnya harga komoditas minyak global. Tahun 2020, rasio pajak kembali amblas di bawah 10 persen atau hanya 8,91 persen. Ini mengonfirmasi bahwa selain pandemi Covid-19, struktur penerimaan pajak pemerintah memang bermasalah.
Di tengah kondisi yang kurang menentu, serta kebutuhan anggaran yang cukup besar untuk membiayai APBN. Sudah sewajarnya pemerintah mulai mengoptimalkan data AEOI yang konon mencapai miliaran Euro itu. Data yang sudah ada dikejar dan dioptimalkan untuk penerimaan pajak.
Selain itu, tansparansi juga diperlukan, agar uang pajak yang konon punya rakyat itu bisa dimonitor dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat, bukan segelintir elit atau korporasi tertentu.
Habis Pengampunan, Diampuni Lagi
Tak cukup dengan pelaksanaan tax amnesty, pemerintah juga kembali menerapkan program bagi-bagi pengampunan pajak pada tahun 2022 lalu. Namun, nama programnya tak secara eksplisit menyebut sebagai tax amnesty, melainkan program pengungkapan secara sukarela.
Adapun Kementerian Keuangan mencatat bahwa total harta bersih dari repatriasi PPS mencapai Rp13,7 triliun. Jumlah itu mencakup 2,3 persen dari total harta bersih yang terungkap melalui PPS, yakni Rp594,82 triliun.
Pengungkapan harta terbesar berasal dari dalam negeri, yakni Rp498,8 triliun, lalu dari luar negeri senilai Rp59,91 triliun. Terdapat pengungkapan harta bersih dengan komitmen investasi, nilainya mencapai Rp22,34 triliun.
Para peserta PPS dapat menginvestasikan dananya, baik berupa aset di dalam negeri maupun hasil repatriasi. Investasi dapat dilakukan ke sektor riil atau surat berharga negara (SBN).
Family Office Mustahil?
Ekonom Senior Faisal Basri meragukan orang super kaya atau crazy rich dari luar negeri akan menanamkan uangnya atau berinvestasi melalui family office di Indonesia.
Hal ini lantaran, kata Faisal, orang super kaya di Indonesia sendiri memiliki family office di luar negeri, lantaran tingkat kepercayaan mereka yang rendah di Indonesia.
“Orang indonesia saja punya family office di luar negeri karena nggak percaya sama di indonesia. Gimana mengharapkan orang luar mau masuk ke indonesia? Sudah korslet,” katanya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Rabu (10/7/2024).
Faisal menjelaskan pada umumnya orang super kaya di Indonesia sudah memiliki family office di Singapura dan Hong Kong.
Dia justru menilai rencana pembentukan family office di dalam negeri justru karena orang-orang super kaya menginginkan adanya kekebalan dalam mengelola uangnya di dalam negeri.
“Takutnya saya, jangan-jangan orang super kaya di Indonesia ingin kekebalan, ingin leluasa untuk mencuci uangnya dari hasil bisnis-bisnis ilegal. Wah fantastis cara berpikirnya, semakin susah dimengerti,” tutur Faisal.